Senin, 25 April 2011


Kegagalan Teori Gelombang Menjelaskan Efek Fotolistrik
Radja_081424024
Cahaya yang menurut teori klasik diperlakukan sebagai suatu gejala gelombang ternyata memiliki gejala lain yang berperilaku sebagai partikel (efek fotolistrik) . Energi tidak disebar merata pada muka gelombang melainkan dilepaskan dalam bentuk buntelan-buntelan selayaknya partikel yang terkuantisasi ( terquanta). Peristiwa ini tidak dapat dijelaskan oleh teori gelombang cahaya. Tulisan ini mencoba mengemukakan bagaimana kegagalan teori gelombang cahaya yang tidak mampu menjelaskan efek fotolistrik tersebut.
Gejala gelombang secara umum dapat didefinikan sebagai rambatan gangguan periodik melalui suatu zat perantara. Dengan cara apakah perambatan gelombang dapat berlangsung bergatung pada gaya-gaya yang bekerja antarpartikel zat perantaranya. Zat perantara tersebut disebut eter. Namun karena zat ini belum pernah teramati dalam percobaan maka dipostulatkan bahwa ia tidak bermassa dan tidak tampak, tetapi mengisi seluruh ruang dan fungsi satu-satunya hanyalah untuk menambatkan gelombang elektromagnetik. Maka sulit untuk membayangkan bagaimana sebuah gelombang dapat merambat tanpa memerlukan zat perantara? Pada tahun 1864, ahli fisika Inggris, James Clerk Maxwell mengemukakan bahwa muatan listrik yang dipercepat akan menimbulkan gangguan listrik dan magnetik yang terkait yang  menjalar terus menerus melalui ruang hampa. Medan listrik yang berubah akan menimbulkan medan magnet. Maxwell berkesimpulan bahwa cahaya terdiri dari gelombang elektromagnetik. Eksperimen Maxwell ini kemudian dilanjutkan oleh Heinrich Hertz pada tahun 1888. Hertz membuktikan bahwa gelombang elektromagnetik memang ada dan bahwa gelombang ini dapat dipantulkan, dibias, dan mengalami difraksi (Arthur Beiser, 1987 : 45).
Menurut teori gelombang cahaya, sebuah atom akan menyerap energi dari gelombang elektromagnetik datang yang sebanding dengan luasnya. Sebagai reaksi atas medan elektrik gelombang maka elektron atom akan bergetar hingga tercapai cukup energi untuk melepaskan sebuah elektron dari ikatan atomnya. Penambahan kelajuan cahaya akan memperbesar laju penyerapan energi, karena medan elektriknya bertambah sehingga laju pemancaran elektron juga bertambah.  Akan tetapi penyerapan ini terjadi pada semua panjang gelombang  sehingga keberadaan panjang gelombang pancung sama sekali bertentangan dengan gambaran gelombang cahaya.  Pada panjang gelombang yang lebih besar daripada λc pun, teori gelombang mengatakan bahwa seharusnya masih mungkin bagi suatu gelombang elektromagnet memberikan energi yang cukup guna melepaskan elektron. Ini berarti ada waktu yang cukup lama bagi atom untuk melepaskan sebuah elektron. Misalkan sebuah laser helium-neon. Keluaran daya yang dihasilkan oleh laser seperti ini paling tinggi 10-3 W yang penampang berkasnya terbatasi pada luas sekitar beberapa milimeter persegi (10-5 m2). Diameter khas atom adalah dalam orde 10-10 m, jadi luasnya dalam orde adalah 10-20 m2. Karena itu fraksi intensitas sinar laser yang jatuh pada atom adalah sekitar 10-20 m2 / 10-5m2 ≈10-15. Jadi hanya 10-18 W = 10-18 J/s ≈ 6  eV/s daya yang dapat diserap atom, dan untuk menyerap energi demikian, menurut teori gelombang cahaya maka dapat diperkirakan tidak akan terlihat fotoelektron terpancar hingga beberapa detik setelah sumber cahaya dinyalakan. Berkas fotoelektron dipancarkan dalam selang waktu 10-9 s (Kenneth Krane, 1987 : 99). Peristiwa ini yang tidak dapat dijelaskan oleh teori gelombang cahaya dalam meramalkan keberadaan panjang gelombang pancung dan waktu tunda yang teramati.
Sebuah logam ketika diberi cahaya akan melepaskan elektron, yang akan menghasilkan arus listrik jika disambung ke rangkaian tertutup. Jika cahaya adalah gelombang seperti yang telah diprediksikan oleh fisika klasik, maka seharusnya semakin tinggi intensitas cahaya yang diberikan maka semakin besar arus yang terdeteksi. Namun hasil eksperimen menunjukkan bahwa walaupun intensitas cahaya yang diberikan maksimum, elektron tidak muncul juga dari plat logam. Tetapi ketika diberikan cahaya dengan panjang gelombang yang lebih pendek (frekuensi lebih tinggi) dari sebelumnya, tiba-tiba elektron lepas dari plat logam sehingga terdeteksi arus listrik, padahal intensitas yang diberikan lebih kecil dari intensitas sebelumnya.  Berarti, energi yang dibutuhkan oleh plat logam untuk melepaskan elektronnya tergantung pada panjang gelombang. Fenomena ini tidak dapat dijelaskan oleh para fisikawan pada waktu itu. Kalau cahaya itu memang benar-benar gelombang, yang memiliki sifat kontinyu, bukankah seharusnya energi yang bisa diserap darinya bisa bernilai berapa saja? Tapi ternyata hanya jumlah energi tertentu saja yang bisa diserap untuk melepaskan elektron bebas.
Masalah serius ini akhirnya dijawab oleh Albert Einstein.  Pada tahun 1905 Einstein menemukan bahwa paradoks yang timbul pada efek fotolistrik dapat dimengerti hanya dengan memasukkan pengertian radikal yang pernah disusulkan lima tahun sebelumnya oleh fisikawan teoretis Jerman Max Planck.  Ketika itu Planck mencoba menerangkan radiasi karakteristik yang dipancarkan oleh benda mampat.  Sebuah benda tidak perlu sangat panas untuk bisa memancarkan gelombang elektromagnetik. Semua benda memancarkan energi secara kontinu tidak perduli berapa temperaturnya. Energi yang dibawa oleh foton sebanding dengan frekuensi cahaya dan tetapan yang disebut konstanta Planck. Dibutuhkan sebuah foton dengan energi yang lebih tinggi dari energi ikatan elektron untuk melepaskan elektron keluar dari plat logam. Ketika frekuensi cahaya yang diberikan masih rendah, maka walaupun intensitas cahaya yang diberikan maksimum, foton tidak memiliki cukup energi untuk melepaskan electron dari ikatannya. Tapi ketika frekuensi cahaya yang diberikan lebih tinggi, maka walaupun terdapat hanya 1 foton saja (intensitas rendah) dengan energi yang cukup, foton tersebut mampu untuk melepaskan 1 elektron dari ikatannya. Intensitas cahaya dinaikkan berarti akan semakin banyak jumlah foton yang dilepaskan, akibatnya semakin banyak elektron yang akan lepas.
 Einstein mengemukakan bahwa cahaya terkuantisasi dalam gumpalan, gumpalan partikel cahaya yang disebut foton (Kenneth Krane, 1987 : 99).  Tenga foton tergantung pada frekuensi, yang diberikan oleh
          E = hѵ
             = h c/λ
dimana h = Konstanta Planck (6,626 x 10-34 Js)
              ѵ = Frekuensi
              λ  = Panjang gelombang
              c   = kecepatan cahaya
Foton yang menumbuk sebuah elektron yang terikat dalam logam akan memberikan seluruh tenaganya sebesar hѵ. Tenaga tersebut digunakan untuk melepaskan elektron dari ikatan dan dipakai untuk tenaga gerak. Tenaga ikat elektron dalam bahan disebut fungsi kerja, sehingga berlaku hubungan :
hѵ = Ҩ + Ek
Ek = hѵ – Ҩ ; untuk Ek = e Vp ; dengan e = muatan elektron (1,6 x 10-19 C ) dan Vp = tegangan penghenti. Dengan demikian akan diperoleh :
eVp = hѵ – Ҩ  atau Vp = (h/e)ѵ – Ҩ/e.
 Akibatnya percobaan Einstein justru bertentangan dengan pernyataan Huygens dengan teori gelombangnya. Pada efek fotolistrik, besarnya kecepatan elektron yang terlepas dari logam ternyata tidak bergantung pada besarnya intensitas cahaya yang digunakan untuk menyinari logam tersebut. Sedangkan menurut teori gelombang seharusnya energi kinetik elektron bergantung pada intensitas cahaya.
Di bawah ini adalah fakta-fakta yang dapat menunjukan kepada kita tentang  kegagalan teori gelombang yang tidak mampu menjelaskan efek fotolistrik
No
Fakta
Teori Gelombang
Efek Fotolistrik
1
Pelepasan fotoelektron hampir seketika
Sebagai gelombang, tenaga terdistribusi merata. Intensitas cahaya yang rendah tidak akan menghasilkan fotoelektron. Agar mampu melepaskan elektron perlu waktu lama agar cukup tenaganya.
Pelepasan tenaga tergantung pada foton yang datang. Tidak perlu akumulasi tenaga yang memerlukan waktu. Karena itu tidak perlu waktu tunda apabila memang frekuensi cahaya sudah di ambang  batas.

2
Untuk satu frekuensi cahaya, tegangan penghenti sudah tentu tidak tergantung intensitas
Tenaga total yang mencapai permukaan logam terkait dengan intensitas, karena itu intensitas akan mempengaruhi tenaga gerak foto elektron
Tegangan penghenti menunjukkan tenaga gerak fotoelektron maksimal. Pada satu bahan fungsi kerja Ҩ bernilai tetap. Maka pada satu nilai frekuensi berlaku hubungan : Ek = hv – Ҩ
Sehingga tenaga gerak elektron tertentu yang berarti pula tegangan penghenti bernilai tertentu  tidak tergantung intensitas.

3
Untuk satu bahan terdapat frekuensi ambang, batas minimal terjadinya gejala efek fotolistrik
Pada teori klasik, yang mempengaruhi pelepasan elektron adalah tenaga total yang mencapai permukaan logam yang terkait dengan intensitas. Frekuensi tidak terkait dengan tenaga
Tenaga foton digunakan untuk melepaskan dari ikatan dan tenaga gerak. Tenaga ikat dalam bahan disebut fungsi kerja Ҩ. Maka berlaku hubungan : hv = Ҩ + Ek. Agar elektron terlepas diperlukan tenaga mininal sebesar Ҩ = h v0. Hal ini berarti teredapat frekuensi minimal.

Dengan demikian,  dari seluruh teori-teori cahaya yang muncul dapat disimpulkan bahwa cahaya mempunyai sifat dual (dualisme cahaya) yaitu cahaya dapat bersifat sebagai gelombang untuk menjelaskan peristiwa interferensi dan difraksi tetapi di lain pihak cahaya berperilaku sebagai partikel yang berupa materi tak bermassa yang berisikan paket-paket energi yang disebut kuanta atau foton sehingga dapat menjelaskan peristiwa efek fotolistrik. 









Pustaka

Beiser Arthur, 1987, Konsep Fisika Modern, edisi keempat, Jakarta, Erlangga
Krane Kenneth, 1992, Fisika Modern, Jakarta, Universitas Indonesia (UI-Press)
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&langpair=en|id&u=http://miniphysics.blogspot.com/2010/11/failure-of-classical-wave-theory.html











Tidak ada komentar:

Posting Komentar